Rabu, 12 Januari 2011

RETRIBUSI DAN ALTERNATIF PEMBIAYAAN PELSUS GRESIK

Harian Jawa Pos, Selasa 11 Januari 2011 memberi judul pada salah satu kolom beritanya “Soal Pelsus, Pemkab Melunak”, salah satu koran nasinal ini memberitakan bahwa, Pemkab Gresik mengundang para pelaku usaha di pelsus (pelabuhan khusus) untuk berunding terkait penolakan para pelaku usaha tersebut untuk membayar retribusi. Terjadi konflik antara para pelaku usaha dan Pemkab Gresik dalam hal penarikan retribusi di pelsus gresik. Pemkab Gresik menganggap penarikan retribusi di pelsus tersebut legal karena memiliki payung hukum yang jelas, karena sudah diatur dalam perda yang mengatur soal retribusi di wilayah tersebut. Disisi lain, pimpinan DPC Indonesia National Shipowners’ Association (INSA) telah menginstruksikan seluruh anggotanya untuk tidak membayar retribusi pelsus hingga adanya kepastian legalitas payung hukum yang mengatur retribusi tersebut. Dari data yang diperoleh INSA, perda itu pernah dibatalkan DPRD Gresik pada 2004, dasarnya adalah surat Mendagri 141/2003 yang isinya membatalkan pemberlakuan perda tersebut. Meski sudah mendapatkan rekomendasi dari dewan, ternyata pemkab tidak juga membatalkan perda tersebut, yang menjadikan status perda tersebut menjadi tidak jelas. Pihak pengusaha juga meragukan klaim adanya judicial review oleh pemkab, pihak pengusaha menanyakan tentang bukti kemenangan pemkab atas legalitas pemberlakuan perda tersebut pada tahap judicial review.

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita cari tahu definisi dari retribusi, pengertian retribusi menurut UU 34/2000, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi Daerah (Retribusi), adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (PP 66/2001). Menurut Munawir (1997) Retribusi merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan ini bersifat ekonomis, karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah dia tidak akan dikenakan iuran itu. Lebih lanjut diuraikan pula definisi dan pengertian yang berkaitan dengan retribusi yaitu dikutip dari Sproule-Jones and White yang mengatakan bahwa retribusi adalah semua bayaran yang dilakukan bagi perorangan dalam menggunakan layanan yang mendatangkan keuntungan langsung dari layanan itu, lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi lebih tepat dianggap pajak konsumsi dari pada biaya layanan karena secara umum retribusi hanya menutupi biaya operasional saja. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. (id.wikipedia.org). Dari berbagai pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa retribusi adalah pungutan/iuran/bayaran yang dibebankan kepada perorangan atau badan setelah menikmati/menggunakan objek retribusi yang dikelola pemerintah.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dilihat sifat-sifat retribusi menurut Haritz (1995 : 84) adalah sebagai berikut:

  • Pelaksanaan bersifat ekonomis;
  • Ada imbalan langsung kepada membayar;
  • Iurannya memenuhi persyaratan, persyaratan formal dan material tetapi tetap ada alternatif untuk membayar;
  • Retribusi merupakan pungutan yang umumnya budgetairnya tidak menonjol;
  • Dalam hal-hal tertentu retribusi daerah digunakan untuk suatu tujuan tertentu, tetapi dalam banyak hal tidak lebih dari pengembalian biaya yang telah dibukukan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan masyarakat.
Tata cara perhitungan dan pelaksanaan pemungutan retribusi di daerah diatur dalam PP 66/2001 BAB VII (PENGHITUNGAN DAN PELAKSANAAN PEMUNGUTAN RETRIBUSI), yakni:

Pasal 7

Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat penggunaan jasa.

Pasal 8

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum didasarkan pada kebijaksanaan Daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan.

Pasal 9

Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Pasal 10

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.

Pasal 11

Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 5 (lima) tahun sekali.

Pasal 12

Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Pasal 13

(1) Sebagian penerimaan dari retribusi digunakan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan retribusi tersebut oleh instansi yang bersangkutan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Terkait dengan berita diatas, maka mekanisme penentuan besaran dan pengalokasian retribusi secara umum diatur dalam suatu payung hukum yakni, PP 66/2001, sedangkan mengenai mekanisme penentuan besaran dan pemungutannya secara lebih spesifik diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) yang berlaku secara spesifik pada masing – masing daerah. Maka, dalam penetapan dan pengelolaan retribusi untuk pelabuhan khusus di Gresik, pemkab Gresik seharusnya meninjau ulang legalitas dan kelayakan perda yang mengatur retribusi pelsus ini, agar dapat menjadi dasar hukum yang kuat dalam melakukan pengelolaan retribusi di pelsus ini.

Mengingat tingginya nilai strategis yang terdapat pada pelabuhan khusus ini, maka pemerintah dapat menggunakan pembiayaan alternatif dengan menjalin kerjasama dengan pihak swasta dalam hal pengelolaan pelabuhan ini dengan sistem bagi-hasil. Dalam hal ini pihak swasta dapat diuntungkan dengan adanya prospek ekonomis yang cukup bagus. Sedangkan pemerintah dapat diuntungkan dalam banyak hal, diantaranya pemerintah tidak harus melakukan pengelolaan secara langsung terhadap fasilitas umum ini, akan ada banyak inovasi dan perkembangan pada objek retribusi, karena untuk mencapai profit maksimal pihak swasta harus melakukan inovasi yang maksimal juga, dan pemerintah juga merasakan dampak tidak langsung dari alternatif ini seperti meningkatnya pendapatan daerah karena berkembangnya pelsus ini.

Oleh: Angga Ariquint (3607100010)

Jumat, 04 Juni 2010

REVIEW (TEKNIK EVALUASI): LAPORAN HASIL EVALUASI RTRW JAKARTA 2010 (BAPEDA DKI JAKARTA, AGUSTUS 2006)

Jakarta, ibukota Indonesia merupakan jantung dari hampir semua pusat kegiatan di seluruh Indonesia (Pemerintahan, Perekonomian, dll.). Karena hal itulah, Jakarta menjadi “Primadona” bagi sebagian masyarakat Indonesia untuk melakukan berbagai kegiatan stategis, misalnya membangun kantor pusat, mengembangkan bisnis, dll.. Sebagian “Effek” dari daya tarik tersebut adalah tingginya angka urbanisasi, yang akan menjadikan Jakarta semakin padat. 

Sebagai ibukota Indonesia, pemerintah DKI Jakarta memiliki urgensitas yang besar dalam menciptakan situasi dan kondisi yang aman, nyaman, dan kondusif bagi warga DKI Jakarta beserta kegiatan yang terdapat didalamnya. Salahsatu langkah untuk mewujudkan hal tersebut adalah menciptakan suatu dokumen tata ruang yang berkualitas, efektif, serta aplikatif. Salahsatu usaha dalam menjaga kualitas dokumen tata ruang adalah melakukan evaluasi.

Berikut ini adalah sebagian Laporan Hasil Evaluasi RTRW Jakarta 2010:

· TUJUAN

Menilai kinerja penataan ruang makro dari implementasi RTRW DKI Jakarta 2010 selama 5 tahun terakhir, melalui proses partisipatif yang melibatkan para stakeholder penataan ruang Jakarta.

· TEKNIK EVALUASI

Sumber: Laporan Hasil Evaluasi RTRW Jakarta 2010

Gambar 1. Diagram alur teknik evaluasi RTRW DKI Jakarta 2010

Gambar diatas menunjukkan cara kerja dalam melakukan evaluasi, mulai dari pengumpulan data-data yang diperlukan dalam melakukan evaluasi, proses analisa, proses evaluasi hingga penilaian hasil evaluasi yang pada akhirnya membuahkan kesimpulan dan rekomendasi.

Dari gambar diatas, nampak bahwa dalam melakukan evaluasi terhadap RTRW DKI Jakarta 2010 digunakan dua teknik evaluasi yang saling bersinergi (dalam proses penilaian hasil evaluasi). Dua teknik tersebut adalah Analisis Deviasi dan (terhubung dengan) Delphi. Teknik evaluasi yang dibahas pada review ini adalah Delphi.

Berikut ini adalah laporan tentang jalannya proses delphi menggunakan metode pendekatan FGD,

· KEGIATAN EVALUASI (DELPHI)

·         Umum

Dilakukan dalam forum formal dalam bentuk FGD (Focus Group Discussion) sebanyak 3 kali forum, yakni tanggal: 6 Oktober 2005, 16 Desember 2005, dan 29 Desember 2005.

Diagram alur visualisasi proses jalannya FGD sebagai berikut:

 Gambar 2. Visualisasi proses FGD evaluasi RTRW Jakarta

·         Stakeholder

Stakeholder dalam evaluasi RTRW Jakarta 2010 terdiri dari pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan asosiasi pengusaha, dengan rincian sebagai berikut:

·         Aspek

Aspek yang dibahas terbagi dalam 7 aspek, namun tidak terpisah secara eksklusif (masih ada kemungkinan untuk saling berhubungan). Aspek tersebut terbagi sebagai berikut:

·  Aspek Pengembangan Wilayah

·  Aspek Sosial Kependudukan

·  Aspek Ekonomi Wilayah dan Kota

·  Aspek Permukiman

·  Aspek Lingkungan dan RTH

·  Aspek Jalan dan Sistem Transportasi

·  Aspek Infrastruktur Diluar Transportasi

 

· SIMPULAN AKHIR RTRW JAKARTA 2010

RTRW Jakarta 2010 perlu direvisi:

·         Secara Formatif, Sesuai dengan yang diatur karena simpangan aspasialnya terlalu besar. Kinerja input, proses, output, dan outcome tidak seperti yang diharapkan.

·         Secara normatif kinerja penataan ruang kurang memuaskan, mulai dari penyusunan rencana tata ruang, pelaksanaan rencana tata ruang dan pemanfaatan ruang, serta pengendalian pemanfaatan ruang perlu diubah untuk mencapai kualitas dan keefektifan penataan ruang yang baik.

·         Selain usaha khusus dalam pemanfaatan ruang sesuai rencana yang kurang memadai, serta pengendalian pemanfaatan ruang yang relatif lemah, sangat mungkin bahwa akar persoalan kinerja penataan ruang yang rendah dimulai dari kualitas RTRW yang kurang memadai untuk digunakan sebagai acuan penataan ruang, di mana tidak ditemui ‘kondisi awal’, ‘target antara – 5 tahunan’, dan bahkan hampir separuhnya tidak punya target capaian pada akhir masa rencana. Hal ini akan sangat menyulitkan, termasuk untuk pengawasan (evaluasi).

 

· USULAN (Usulan Forum Evaluasi)

·         Substansi Perda sebaiknya jangan terlalu mikro

·         Hitung kembali proyeksi penduduk

·         Singkronisasi RTRW Jakarta dengan RTRW Bodetabek

·         Revisi RTRW 2010

 

· SARAN PENULIS

·         Sebaiknya dalam melaksanakan evaluasi menggunakan teknik Delphi jangan menggunakan metode pendekatan FGD. Sebab dalam teknik evaluasi delphi tidak diperkenankan adanya diskusi (berkenaan dengan evaluasi yang sedang dilaksanakan) antar stakeholder selama berlangsungnya proses delphi, karena dapat mempengaruhi “Netralitas” para stakeholder.

·         Agar produk evaluasi lebih diterima masyarakat, maka perlu ditambahkan teknik evaluasi Participation Monitoring and Evaluation dalam fase kerja evaluasi yang dilakukan. Karena dengan penggunaan metode tersebut masyarakat (selaku stake holder yang menerima dampak kebijakan) dapat beraspirasi dengan lebih terarah.

·            Jika tidak terdapat target capaian dalam dokumen rencana, maka kriteria dan indikator evaluasi dapat di break-down dari tujuan dan sasaran atau visi dan misi perencanaan yang terdapat dalam dokumen perencanaan.

Ololeh:  Angga Ariquint Nuggroho (3607100010)